Rabu, 21 Desember 2011

SKB Kakao Sultra

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Komoditas perkebunan unggulan kakao di Sulawesi Tenggara memiliki potensi untuk dieksploitasi dan dikembangkan untuk memenuhi permintaan pasar domestik maupun pasar internasional (eksport), dalam bentuk kakao fermentasi, bubuk kakao, dan minyak kakao. Ketiga jenis pengembangan kakao ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah bagi penerimaan petani dan daerah yang selama puluhan tahun hanya diperdagangkan secara asalan dengan kualitas yang rendah (tanpa fermentasi) sebagai komoditas perdagangan andalan Sulawesi Tenggara.

Dari sisi produksi (pasokan) selama kurun waktu 2004-2008, komoditas tersebut mengalami perkembangan yang relative besar. Data statistik perkebunan Provinsi Sulawesi Tenggara (2009) menunjukkan bahwa komoditas kakao mampu mencapai produksi rata-rata 119.160 ton pertahun, dengan laju kenaikan produksi rata-rata 6,83% pertahun. Disisi luas areal pengembangan komoditas, diperoleh petunjuk bahwa luas pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Tenggara pada tahun 2008 telah mencapai 218.911 Ha, yang terdiri dari tanaman produktif seluas 154.326 Ha (70,5%) dan tanaman muda yang belum produktif seluas 56.792 Ha (25,9%).

Di lihat dari sebaran komoditas menurut kabupaten, maka sentra pengembangan kakao terbesar terdapat di empat kabupaten, yakni Kolaka (86.637 Ha); Kolaka Utara (68.503 Ha); Konawe Selatan (19.376 Ha); dan Konawe (16.965 Ha). Keempat wilayah kabupaten tersebut memiliki pangsa repatif sekitar 87,5% dari total luas areal pengembangan komoditas kakao di wilayah Sulawesi Tenggara.

Namun demikian, pangsa pasar relative komoditas kakao terhadap volume dan nilai ekspor Sulawesi Tenggara baru mencapai rata-rata 10.775 ton pertahun atau sekitar 1%, dengan nilai sebesar $11.585.485 atau rata-rata sekitar 2,5% terhadap total nilai ekspor Sulawesi Tenggara pertahun selama kurun waktu 2006-2008. sedangkan sisanya diperdagangkan antar pulau, meskipun komoditas ini telah menjadi komoditas ekspor (internasional maupun domestic), tetapi oleh karena pelabuhan pemuatan untuk ekspor umumnya dilakukan di Pelabuhan Makassar, Siwa, dan Surabaya, maka nilai perdagangan komoditas kakao ini banyak yang tidak tercatat dalam struktur komditas ekspor Sulawesi Tenggara. Fenomena ini sekaligus mengindikasikan bahwa selama ini Sulawesi Tenggara mengalami “kebocoran wilayah” dalam memperoleh sumber-sumber pendapatan yang berasal dari kegiatan ekspor langsung maupun tidak langsung sebagai akibat ketersediaan infrastruktur perdagangan (terutama pelabuhan dan jasa penunjangnya) yang masih relative terbatas.

Daya serap pasar antar pulau yang begitu besar jika melalui jalur distribusi local akan memberikan pendapatan bagi daerah, namun kenyataannya, banyak perdagangan yang tidak tercatat karena diperdagangkan secara langsun goleh pengumpul dan didistribusikan melalui penyeberangan Lasusua-Siwa, yang selanjutnya dibawa kepelabuhan atau dipasarkan di Makassar. Fenomena ini sekaligus mengindikasikan pula relative besarnya ‘kebocoran wilayah’ Sulawesi Tenggara dalam memperoleh nilai tambah perdagangan komoditasnya selama ini.

Terjadinya marketable surplus (surplus produksi yang tidak terserap dalam kegiatan perdagangan antar pulau dan ekspor secara langsung) yang berimplikasi terhadap kebocoran wulayah, secara substansial dapat disebabkan oleh faktor, yakni: (1) masih terbatasnya jumlah dan permodalan para pedagang besar local dalam menyerap produksi petani, dan (2) kualitas produksi petani yang belum seluruhnya mampu memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan. Faktor pertama, adalah derivate dari masalah ketersediaan infrastruktur wilayah yang masih relative terbatas baik jumlah maupun kualitasnya, terutama prasarana dan sarana perhubungan yang menghubungkan sentra-sentra produksi dengan sentra pemasaran. Implikasinya, biaya angkuran komoditas yang relative tinggi, sehingga mengurangi daya tarik masuknya para investor di saru sisi, dan rendahnya harga komoditas ditingkat petani pada sisi lain. Sedangkan faktor kedua, adalah derivate dari: (1) kemampuan teknologi dan manajemen pascapanen di tingkat petani, dan (2) perilaku dan harga pembelian pedagang pengumpul kepada petani yang tidak didasarkankan pada tinggi rendahnya kualitas produk sebagai salah satu akibat masih lemahnya system informasi pasar dan harga komoditas di tingkat petani.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengembangan komoditas kakao ini harus merupakan bagian integral dari kebijakan pengembangan komoditas unggulan wilayah yang berbasis pada: (1) peningkatan daya saing produksi dan pemasaran komoditas, (2) peningkatan pendapatan pelaku agribisnis komoditas (petani, pedagang/investor swasta) dan pemerintah, (3) peningkatan daya saing wilayah dalam peta investasi nasional di sector pertanian, khususnya komoditas perkebunan.

Dengan demikian, sasaran pengembangan komoditas kakao dimaksudkan agar mampu memberikan kontribusi yang relative besar terhadap perekonomian wilayah dan pendapatan masyarakat (petani), maka diperlukan kajian empiric guna menjawab tiga aspek pokok, yakni: (1) jenis dan nilai investasi pemerintah daerah yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan atau memperkuat daya saing pemasaran komoditas tersebut mulai dari sector usahatani (on-farm) sampai di tingkat usaha pemasaran komoditas (off-farm), (2) model usaha agribisnis seperti yang perlu dikembangkan agar diperoleh nilai tambah komoditas yang lebih besar, dan (3) berapa besar benefit ekonomi yang dapat diharapkan oleh pemerintah, petani, dan pelaku agribisnis lainnya dari pengembangan komoditas dimaksud. Ketiga aspek inilah yang menjadi focus utama sekaligus permasalahan pokok yang akan dijawab dalam penelitian ini.

B. TUJUAN DAN MANFAAT

Studi pengembangan (kelayakan) komoditas kakao ini didesain untuk memenuhi tujuah:

  1. tersedianya informasi tentang jenis dan nilai investasi pemerintah dibidang pengembangan komoditas kakao (system perdagangan dan diversifikasi produk yaitu fermentasi, bubuk, dan minyak kakao) di wilayah Sulawesi Tenggara, khususnya pada wilayah yang ditinjau.
  2. Tersedianya data base dan informasi mengenai pola investasi pengembangan komoditas kakao yang secara teknis dan ekonomis/financial menguntungkan baik bagi pemerintah, investor, dan petani komoditas.
  3. Diketahuinya besaran manfaat ekonomi yang dapat diharapkan dari investasi pengembangan komoditas dimaksud, baik bagi pemerintah daerah dan investor maupun petani.

Sedangkan manfaat yang diharapkan dari studi ini, adalah:

  1. Sebagai salah satu bahan rujukan bagi para calon investor di bidang pengembangan komoditas kakao di wilayah Sulawesi Tenggara dalam menyusun studi kelayakan investasi secara lebih detail dan spesifik.
  2. Sebagai salah satu acuan bagi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dalam merumuskan kebijakan dan pola investasi pengembangan komoditas kakao yang memungkinkan dapat memberikan keuntungan ekonomis baik bagi masyarakat (petani), investor, maupun bagi pemerintah daerah.

C. LINGKUP STUDI

Sesuai dengan tujuan dan manfaat yang diharapkan tersebut, maka lingkup studi ini, meliputi:

a. Lingkup wilayah, meliputi kabupaten, kecamatan, dan desa yang merupakan sentra-sentra komoditas kakao terbesar di wilayah Sulawesi Tenggara, yaitu Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, dan Konawe Selatan.

b. Lingkup kajian, meliputi:

(1) aspek teknis produksi dan manajemen usahatani, terutama yang berkaitan dengan usaha peningkatan kualitas produksi (fermentasi, bubuk, dan minyak kakao);

(2) aspek organisasi/kelembagaan usaha; yang meliputi analisis kelembagaan usaha tani ditingkat petani, dan alternative pola usaha investasi swasta yang diperlukan dalam pengembangan komoditas;

(3) aspek pemasaran komoditas yang meliputi: analisis fungsi-fungsi pemasaran (fungsi fisik dan struktur perdagangan/pemasaran) komoditas; analisis permintaan dan penawaran komoditas, analisis tataniaga pemasaran, analisis harga, struktur biaya dan biaya pemasaran, dan analisis efisiensi pemasaran komoditas menurut struktur tataniaga;

(4) aspek investasi pengembangan komoditas, yangmeliputi analisis jenis dan kebutuhaninvestasi pemerintah dan investasi swasta dalam rangka pengembangan komoditas;

(5) aspek kelayakan ekonomis/financial dari pengembangan komoditas menurut jenis atau pola usaha alternative, dan kontribusinya terhadap perdapatan daerah.

BAB II.

DAYA SAING KOMODITI KAKAO SULAWESI TENGGARA

Kakao (Theobroma cacao) merupakan tanaman tahunan yang menjadi salah satu unggulan ekspor non migas Indonesia. Kakao berpotensi tetap menjadi produk unggulan pertanian di Indonesia karena iklim Indonesia yang tropis dan dapat memenuhi syarat tumbuh tanaman tersebut. Untuk saat ini, Indonesia merupakan produsen kakao nomor tiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Kakao Indonesia memiliki keunggulan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok digunakan untuk blending. Apabila difermentasi dan diolah dengan baik, maka kualitasnya dapat mengalahkan kakao Ghana. Pasar kakao Indonesia juga berpotensi untuk tetap naik apalagi kondisi Indonesia lebih baik daripada kedua negara pesaing tersebut. Berita menyebutkan bahwa ekspor kakao Sumatera Utara meningkat karena beberapa negara kosumen kakao beralih ke Indonesia karena kondisi keamanan Pantai Gading yang tidak stabil karena perang saudara.

Tanaman perkebunan ini telah mendorong dunia agribisnis Indonesia menjadi lebih menggeliat. Hal ini dibuktikan dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar. Pada tahun 2002, tercatat 900.000 kepala keluarga petani kakao di Indonesia. Perkebunan kakao di Indonesia sebagian besar (87,4%) merupakan perkebunan rakyat sedangkan sisanya dikelola perkebunan besar (6%) dan perkebunan swasta (6,7%).

A. MASALAH KAKAO

Banyak masalah yang harus dihadapi perkakaoan Indonesia. Masalah-masalah tersebut sangat luas dan rumit yang terbentang dari industri hulu sampai hilir. Apabila dicari masalah utamanya maka akan didapatkan persoalan sumberdaya, kebijakan dan keuangan.

Masalah utama pertama yang menimpa perkakaoan Indonesia adalah sumberdaya manusia yang kurang. Sekitar 87% petani kakao Indonesia memiliki pengetahuan yang kurang mengenai seluk-beluk perkakaoan. Mereka mungkin hanya mendapatkan keahlian bercocok tanam kakao yang diwariskan dari pendahulu mereka. Padahal perkebunan kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat.

Masalah berikunya adalah kebijakan pemerintah yang menyebabkan hampir semua ekspor kakao Indonesia dalam bentuk biji. Pemerintah yang menetapkan PPN 10% untuk pembelian biji kakao. Petani menjadi lebih senang mengekspor biji kakao daripada mengolahnya kembali. Industri pengolahan kakao dan coklat di Indonesia juga menjadi lesu, keragaman produk kakao juga rendah. Padahal, pada pohon industri kakao, berbagai macam potensi industri dapat dihasilkan, mulai dari cocoa powder, cocoa concentrate sampai cocoa butter untuk industri makanan; lethicin, tannin, alkohol untuk industri kimia; hingga pupuk hijau dan pakan ternak. Untuk itu, perlu ditinjau kembali kebijakan tersebut, atau pemerintah lebih mendorong petani kakao Indonesia dengan segala fasilitas fisik, dana dan kebijakan lain yang mendukung.

Masalah utama terakhir adalah masalah keuangan atau dana. Kekurangan modal membuat rentetan masalah yang panjang. Hal ini diperparah dengan sulitnya menerima pinjaman bank, naiknya harga pupuk dan pestsida dan penurunan harga kakao di tingkat petani.

B. MUTU KAKAO RENDAH

Indonesia merupakan produsen kakao nomor tiga terbesar di dunia namun biji kakao Indonesia kurang diminati karena mutu kakao Indonesia rendah. Selama ini, biji kakao Indonesia merupakan batas standar mutu ekspor-impor biji kakao. Bahkan di Amerika Serikat, biji kakao Indonesia mendapatkan automatic detention kerena sering ditemukan jamur, kotoran, serangga dan benda-benda asing lainnya.

Rendahnya mutu kakao Indonesia ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1. Kualimortas tanaman kakao Indonesia yang menurun, karena kebanyakan kakao di Indonesia telah menua.

2. Penyakit VSD (Vascular Streak Dieback) dan hama PBK (Pengerek Buah Kakao) yang menyerang kebanyakan perkebunan kakao di Indonesia.

3. Biji kakao Indonesia jarang yang di fermentasi terlebih dahulu, padahal mutu biji yang telah difermentasi lebih baik daripada yang belum difermentasi.

4. Teknologi pascapanen yang masih sederhan.

5. Sarana dan prasarana pendukung yang kurang, seperti gudang; pasokan listrik yang kurang; transportasi dari, ke dan di dalam kebun, tempat pengolahan dan menuju negara pengekspor yang masih buruk.

Mutu kakao Indonesia yang cenderung tidak membaik ini menyebabkan persepsi pasar dunia terhadap kakao Indonesia sulit membaik. Selain automatic detention yang dilakukan Amerika Serikat, beberapa negara ekspor memberikan tarif yang lebih tinggi. Permasalahan ini sulit dipecahkan, kecuali Indonesia meningkatkan mutu kakaonya dan adanya campur tangan pemerintah.

C. KONDISI PERKAKAOAN SULAWESI TENGGARA

Provinsi Sulawesi Tenggara berhasil menjadi salah satu produsen utama komoditi kakao (Theobrema cacao L) di Indonesia, berkat keberhasilan dalam program Gersamata pada dasawarsa 80-an yang kemudian dilanjutkan dengan program perluasan dan peningkatan produksi kakao (tanaman kakao di Sulawesi Tenggara dikelola oleh petani/perkebunan rakyat). Pada saat ini berdasarkan data dari Dinas Perkebunan dan Hortikultura serta BPS Prov. Sulawesi Tenggara dalam Sulawesi Tenggara Dalam Angka ahun 2009, areal perkebunan kakao di Sulawesi Tenggara mencapai 218.911 Ha, terbagi dalam tiga kelompok yaitu kebun produktif seluas 154.326 ha, belum produktif seluas 56.792 ha, dan tidak produktif seluas 7.793 ha. Sentra produksi kakao Sulawesi Tenggara terdapat di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka, Konawe dan Konawe Selatan. dengan luas tanaman mencapai 172.361 Ha.

Tetapi berdasarkan data statistic yang ada, produksi kakao Sulawesi Tenggara pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya baik dari luas areal perkebunan maupun produksinya. Kondisi tersebut tentu merupakan suatu hal yang cukup serius untuk mendapatkan perhatian baik oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara maupun Kabupaten dan Kota di Sulawesi Tengggara.

Kekurangan komoditi perkebunan kakao di Sulawesi Tenggara dari pengamatan yang dilakukan di sentra perkebunan kakao dapat diklasifikasikan menjadi:

  1. Aspek budidaya pemeliharaan tanaman kakao.
  2. Aspek pemetikan/pemanenan dan pasca pemanenan.
  3. Aspek pengolahan
  4. Asepk pemasaran.
  5. Aspek produksi
  6. Aspek pasca panen

Berdasarkan pengamatan dilapangan, rendahnya produktivitas kakao per hektar disebabkan karena:

  1. sebagian besar tanaman kakao sudah berusia tua (rata-rata di atas 25 tahun) (hasil wawancara dengan petani).
  2. adanya hama sehingga biji kakao sebagian rusak.
  3. sebagian petani menanam kurang sesuai dengan pola tanam (jarak) ideal tanaman kakao.

Dengan melihat luas dan potensi kebun kakao rakyat maka dapat dikatakan bahwa kakao merupakan salah satu sumber mata pencaharian utama penduduk Sulawesi Tenggara. Walaupun posisi petani dalam jalur tataniaga masih lemah, tetapi mereka masih dapat membiayai usaha taninya secara swadana meskipun terkesan pembiayaannya kebanyakan bersifat secukupnya.

Kondisi Perkakaoan setiap kabupaten/daerah sentra produksi kakao di Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tenggara pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi perkakaon nasional. Permasalahan komoditi kakao di sentra produksi kakao berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap obyek penelitian dapat diidentifikasi kedalam beberapa aspek, yaitu:

  1. Aspek produksi,
  2. Aspek diversifikasi,
  3. Aspek penanganan pasca panen,
  4. Aspek pemanfaatan limbah,
  5. Aspek sarana dan prasarana, dan
  6. Aspek kelembagaan dan tananiaga.

Dilihat dari sisi perdagangan, sebagian besar komoditi kakao diantar pulaukan ke Makassar. Posisi pedagang dibandingkan dengan petani dalam kelembagaan tataniaga kakao mempunyai kedudukan lebih kuat, terutama berkaitan dengan penetapan harga. Hal tersebut diakibatkan karena lemahnya posisi tawar menawar petani. Pedagang berperan sebagai pihak yang sering mengambil keuntungan besar dari pembelian komoditi kakao dibandingkan dengan tingkat keuntungan petani.

BAB III.

ANALISIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN FERMENTASI KAKAO DI SULAWESI TENGGARA 2010

Kakao di Sulawesi Tenggara memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat dan dunia usaha karena kakao merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk. Selain itu kakao merupakan sumber pendapatan masyarakat dan daerah.

Wilayah sentra industri kakao di kawasan indonesia bagian timur, meliputi provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di Provinsi Sulawesi Tenggara kakao merupakan salah satu komoditas unggulan dan menonjol dibanding jenis tanaman perkebunan lainnya. Menurut data BPS jumlah areal tanam atau lahan produktif yang ada di 12 Kabupaten dan Kota di Sulawesi Tenggara adalah sebesar 218.950 ha. Adapun Kabupaten sentra pengembangan komoditas kakao terbesar terdapat di empat kabupaten, yakni: Kolaka (86.637 Ha); Kolaka Utara (68.503 Ha); Konawe Selatan (19.376 Ha); dan Konawe (16.965 Ha). Keempat wilayah kabupaten tersebut memiliki pangsa relatif sekitar 87,5% dari total luas areal pengembangan komoditas kakao di wilayah Sulawesi Tenggara.

Di bidang ketenagakerjaan, kakao merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, dari 466.440 kepala keluarga di Sultra, 143.433 KK (30%) diantaranya mengusahakan kakao. Salah satu penyebab menurunnya produksi kakao diantaranya jenis/klon kakao yang ditanam petani tidak seragam, sebagian besar tanaman kakao sudah tua, tingginya serangan organisme pengganggu tanaman, system budidayanya masih subsisten, menyebar dan campuran.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di empat kabupaten yang menjadi sentra pengembangan kakao dengan 4 sample kecamatan untuk setiap kabupaten sehingga diperoleh 16 kecamatan yang merupakan sentra penghasil komoditi kakao, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

A. POTENSI PRODUKSI

Luas lahan produktif yang ada di sulawesi Tenggara menurut BPPS adalah 218.950 ha. Produktifitas rata-rata untuk setiap hektarnya adalah 707 Kg kakao siap jual per tahun, rata-rata produksi dimusim panen raya 659 kg/ha dan diluar musim panen raya sebesar 48 kg per ha. Secara lebih rinci tersaji pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1.

RATA- RATA PRODUKSI KAKAO PER Ha SETIAP TAHUN

Hasil

Rata-rata

(17.000/kg)

Produksi Rata2

Total

Nilai Produksi

Nilai Produksi

Total

KABUPATEN

Panen

Diluar P

Produksi

Panen

Diluar Panen

Nilai Prod

Kg

Kg

Kg

Rp

Rp

Rp

KONAWE

578

44

622

9.416.750

589.893

10.006.643

KONSEL

755

8

763

14.565.281

85.050

14.650.331

KOLAKA

676

90

766

11.262.717

1.499.784

12.762.501

KOLAKA UTARA

626

52

677

10.093.287

856.465

10.949.752

Jumlah

2.635

193

2.829

45.338.035

3.031.192

48.369.228

Rata-rata

659

48

707

11.334.509

757.798

12.092.307

Sumber: hasil penelitian 2010.

B. BIAYA PRODUKSI

Secara umum biaya pengolahan terdiri atas biaya tetap meliputi pajak lahan (PBB). Pengeluaran untuk pembelian peralatan produksi seperti parang pemangkas, parang pemecah, pemetik buah, hands sprayer, lori buah, alat fermentasi, penjemuran, sortasi dan karung untuk menyimpan kakao, tetapi pada kenyataannya tidak semua petani memiliki peralatan yang baik untuk menunjang produksi sebagian besar hanya menggunakan peralatan apa adanya.

Biaya variabel terdiri atas pengeluaran untuk sarana produksi dan pengeluaran untuk membayar upah tenga kerja baik dalam pengolahan maupun untuk kegiatan panen dan pasca panen.

Biaya untuk sarana produksi meliputi pengeluaran untuk pembelian pupuk, herbisida, pestisida/insektisida. Sedangkan biaya tenaga kerja meliputi pembayaran upah pemupukan, pengendalian hama, pemangkasan, panen dan pasca panen.

1. Biaya Produksi Tanpa Fermentasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 98% petani dilokasi sampel menjual asalan atau tanpa fermentasi, 2% melakukan fermentasi 2-3 hari tetapi hanya disimpan dalam karung, dan ini tidak sesuai dengan teknik fermentasi yang dianjurkan, sehingga hasil kakaonya tetap tidak memenuhi kadar fermentasi. Besarnya biaya produksi yang dibutuhkan untuk produk kakao tanpa fermentasi sebesar Rp. 4.280.000,00/tahun. Terdiri atas pengeluaran untuk peralatan Rp 450.000,- dan pengeluaran untuk modal kerja sebesar Rp 3.830.000,-, dengan proporsi terbesar ada pada pengeluaran untuk pupuk, herbisida dan pestisida/insektisida. Serta biaya tenaga kerja.

Sedangkan Berdasarkan kebutuhan modal produksi untuk pengolahan, untuk menghasilkan 707 kg kakao/tahun per ha adalah Rp 3.995.000,- dengan rincian biaya terbesar ada pada pengolahan lahan untuk pupuk, herbisida dan insektisida sebesar Rp 2.550.000,- dan biaya tenaga kerja pengolahan, panen dan tenaga kerja pasca panen sebesar Rp 1.200.000,-

2. Biaya Produksi dengan Fermentasi

Biaya produksi dengan fermentasi adalah biaya–biaya yang dikeluarkan jika petani melakukan fermentasi terhadap kakao yang telah di panen sebelum dijual. Untuk melakukan fermentasi petani membutuhkan tambahan modal sebesar Rp 5.230.000,-/tahun, untuk peralatan sebesar Rp 1.550.000,- dan kebutuhan modal kerja sebesar Rp 3.680.000,- buat biaya satu orang tenaga kerja ( petani sendiri).

jika petani melakukan fermentasi, maka biaya produksi yang akan dikeluarkan rata-rata sebesar Rp 2.048.750 per bulan atau Rp 8.115.000,- setahun. untuk rata-rata hasil fementasi selama musim panen raya sebesar 593 Kg/ha, per tahun. Jika dibandingkan biaya produksi tanpa fermentasi sebesar Rp 3.955.000,- setahun, ini berarti ada kenaikan biaya produksi sebesar Rp 4.160.000,- yang diakibatkan oleh adanya biaya tenaga kerja fermentasi Rp 3.600.000,-, kenaikan biaya penyusutan Rp500.000,- dan kenaikan biaya pengepakan (karung) sebesar Rp 40.000,- Hal ini berarti setiap petani membutuhkan tambahan biaya sebesar Rp.4.160.000.- jika akan melakukan fermentasi.

3. Pendapatan dan Keuntungan (Profit)

a. Pendapatan dan Keuntungan Kakao yang Tidak Difermentasi

Dengan asumsi harga biji kakao yang tidak difermentasi atau asalan, di tingkat petani rata-rata sebesar Rp 17.000,- per kg sehingga untuk setiap hektar yang menghasilkan 707 kg, petani akan mendapat pendapatan dan keuntungan rata-rata sebesar Rp 12,019.000, dan keuntungan bersih yang dapat diperoleh adalah rata-rata sebesar Rp 8.064.000,- ini merupakan penghasilan bersih petani untuk setiap hektar kakao yang dimiliki. Margin penjualan untuk kakao tidak fermentasi adalah sebesar 67%.

b. Pendapatan dan keuntungan Kakao yang Difermentasi

Dengan harga biji kakao fermentasi kadar air di bawah 8% ditingkat petani rata-rata Rp.24.000,-ini didasarkan pada harga rata-rata kakao pasar spot makasar untuk bulan April 2010. Apabila melakukan fermentasi, petani akan memperoleh pendapatan sebesar Rp12.726.000 Biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 8.115.000,- dan keuntungan sebesar Rp 4.611.00,-

Dari perhitungan tersebut, menunjukkan apabila melakukan fermentasi, pendapatan petani akan meningkat sebesar Rp 707.000,- (6%), tetapi keuntungan justru menurun sebesar Rp 3.453.000,- (-42,8%); kemampuan petani untuk menghasilkan laba dari hasil fermentasi menurun, dari 67% menjadi 36 %. B/C ratio menurun dari 3,04 menjadi 1,58.

c. Perhitungan Break Even (BEP) untuk Fermentasi

Berdasarkan hasil analisis break even point (BEP), petani sebaiknya melakukan fermentasi secara berkelompok. Fermentasi secara berkelompok akan meminimumkan atau menghemat biaya fermentasi khususnya biaya tenaga kerja dan biaya penyusutan peralatan peralatan fementasi. Karena fermentasi akan dapat meningkatkan keuntungan dan pendapatan petani, apabila fermentasi dilakukan terhadap luas lahan 3 Ha ke atas. Hasil analisis menunjukkan apabila fermentasi dilakukan secara individu maka petani dengan luas lahan di bawah 3 Ha akan menanggung biaya lebih besar dan tidak efisien, sehingga akan mengurangi pendapatan dan keuntungan petani.

Hasil perhitungan dengan menggunakan beberapa asumsi yaitu (1) fermentasi dilakukan secara berkelompok, (2) Kakao fermentasi yang dihasilkan sebanyak minimal 15 ton menunjukkan akan mampu meningkatkan pendapatan petani secara individu maupun kelompok. Sehingga dari hasil analisis menunjukkan investasi fermentasi di tingkat kelompok petani kakao, adalah layak. Adapun hasil perhitungan BEP agar Kelompok fermentasi dapat menutup semua biaya produksi dapat ditutup maka fermentasi yang dilakukan minimal menghasilkan kakao sebanyak 3.060 kg.

C. ANALISIS KELAYAKAN FERMENTASI PADA KOPERASI USAHA KAKAO SULTRA UNTUK MENGHASILKAN 15 TON KAKAO KERING

Kegiatan fermentasi yang dilakukan usaha koperasi adalah fermentas yang tidak melibatkan petani secara langsung dalam proses pekerjaan. Kegiatan ini sepenuhnya dilakukan oleh koperasi. Untuk memenuhi kebutuhan kakao basah sebagai bahan baku fermentasi koperasi membeli dari petani dengan harga Rp 7.500 per kg. Kebutuhan kakao basah 30 ton.,- untuk menghasilkan 15 ton kakao kering hasil fermentasi yang siap di ekspor.

Apabila koperasi melakukan fermentasi dengan menggunakan alat pengolah primer, modal yang dibutuhkan untuk invertasi peralatan sebesar Rp. 182.000.000,00. sedangkan kebutuhan modal kerja untuk melakukan fermentasi yaitu: (1) apabila menghasilkan kakao 15 ton kering membutuhkan dana untuk melakukan investasi modal kerja sebesar Rp. 119.712.500; (2) untuk menghasilkan 30 ton kakao membutuhkan dana investasi modal kerja sebesar Rp. 239.425.000; dan (3) untuk menghasilkan kakao sebesar 120 ton membutuhkan dana investasi modal kerja sebesar Rp. 957.700.000

Sedangkan hasil perhitungan laba/rugi untuk 15 ton dan 60 ton kakao fermentasi, menunjukkan hasil sebagai berikut:

Tabel 2.

Perincian kelayakan Kakao Fermentasi bila dilakukan oleh Koperasi

Perincian

15 Ton

60 Ton

TOTAL PENERIMAAN (Rp)

360.000.000

1.440.000.000

TOTAL COST (Rp)

263.349.389

1.235.792.667

TOTAL KEUNTUNGAN (Rp)

86.985.550

183.786.600

Net B/C (%)

1,37

1,17

Biaya Produksi Per unit (Rp)

16.412

16.412

Biaya Tetap (Rp)

20.924.389

251.092.667

Harga Jual (Rp)

24.000

24.000

BEP (Kg)

2,757

33.089

Berdasarkan perhitungan laba yang memperlihatkan penerimaan dan pengeluaran maka kelayakan investasi dari fermentasi yang dilakukan oleh koperasi usaha dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3

Kelayakan Investasi Fermentasi Untuk 15 Ton

Koperasi Usaha Fermentasi Dengan Alat Pengolah Primer

TAHUN

ARUA KAS

DF

PV OF CASH FLOW

DF

PV OF CASH FLOW

RP

14%

RP

24%

RP

2010

-1,139,700,000

1.000

-1,139,700,000

1.000

-1,139,700,000

2011

434,879,267

0.877

381,476,093

0.807

350,730,129

2012

434,879,267

0.770

334,639,596

0.650

282,845,475

2013

434,879,267

0.675

293,543,505

0.525

228,094,175

2014

434,879,267

0.592

257,492,014

0.423

183,953,930

2015

434,879,267

0.519

225,876,291

0.341

148,337,318

NPV

353,327,498

NPV

54,261,027

Sumber: Hasi Penelitian 2010

Keterangan

PADA DF14%

PADA DF24%

NPV :

353,327,498

54,261,027

B/C :

1,17

IRR :

11%

PP :

4 Tahun

2 Bulan

Hasil analisis kelayakan investasi memperlihatkan bahwa proyek fermentasi ini layak untuk dilaksanakan karena pada tingkat suku bunga 24% memberikan net present value yang positif sebesar Rp 54.261.027, meskipun demikian pay back periodenya kurang bagus karena lama yaitu 4 tahun 2 bulan dengan kata lain dana investasi sebesar Rp 1.139.700.000,- baru akan kembali pada akhir tahun ke empat, ini berarti koperasi usaha rentan terhadap resiko kerugian dalam masa/umur proyek jika terjadi gagal panen, perubahan cuaca atau penurunan harga jual.

  1. INVESTASI PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR

PENGOLAHAN BIJI KAKAO

Peningkatan produksi kakao mempunyai arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap. Permasalahan utama yang dihadapi komoditas kakao dapat diatasi dengan penerapan fermentasi pada pengolahan biji pasca panen dan pengembangan produk hilir kakao berupa serbuk kakao. Analisis kelayakan investasi dilakukan dengan menghitung seluruh biaya, pendapatan dan keuntungan yang dapat diperoleh dari investasi. Berdasarkan hasil analisis investasi pada pembentukan kelompok fermentasi diketahui bahwa hasil produksi kakao fermentasi di atas BEP.

1. Kelayakan Investasi Pengolahan Biji Kakao Sultra 2010

Industri pengolahan biji kakao yag akan didirikan ini adalah industri yang ditujukan untuk membeli hasil produksi dari kelompok petani fermentasi, yang nantinya akan menghasilkan intermediated produck bagi industri makanan dan minuman. Kesinambungan pengembangan industri ini akan menciptakan dan meningkatkan intermediated industry di provinsi Sulawesi Tenggara,sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Analisis kelayakan investasi dilakukan dengan menghitung seluruh biaya, pendapatan dan keuntungan yang dapat diperoleh dari investasi. Berdasarka hasil analisis investasi pada pembentukan kelompok fermentasi diketahui bahwa hasil produksi kakao fermentasi di atas BEP.

a. Bahan Baku

Untuk menghasilkan serbuk dan lemak kakao yang berkualitas dan memiliki cita rasa yang tinggi sesuai standar, diperlukan bahan baku biji kakao fermentasi dengan persyaratan mutu sebagai berikut :

Tabel 4. Syarat Mutu Biji Kakao Bahan Baku Pabrik Coklat

KRITERIA MUTU

SYARAT

Tingkat Fermentasi, hari

90% ( 5 hari)

Kadar air, %

7,5

Kadar Kulit, %

13-15

Kadar, Lemak %

49-51

Ukuran Biji

Seragam

Kadar Kotoran

Jamur

Nihil

Benda asing lunak

Nihil

Benda asing keras

Nihil

Sumber: Pusat Penelitian Kopi & Kakao Jember 2009.

b. Kebutuhan Investasi

Pengolahan biji kakao membutuhkan investasi antara lain untuk pembelian mesin-mesin, pengolahan, Bangunan, instalasi listrik dan air, furniture, alat laboratorium dan untuk fasilitas air, bahan bakar, genset, Ac, pelatihan dan konsultasi. Besarnya kebutuhan investasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5

KEBUTUHAN INVESTASI INDUSTRI PENGOLAHAN BIJI KAKAO

NO

JENIS INVESTASI

NILAI (Rp)

1

Mesin dan alat Penunjang

Produk antara (pasta)

250.500.000

Produk Bubuk

327.500.000

Produk Permen

341.275.000

JUMLAH

919.275.000

2

Bangunan, isntalasi listrik dan air

Pabrik ( 8 x 30 m²)

350.000.000

Gudang ( 8 x 18 m²)

144.000.000

Kantor dan Lab ( 8 x 18 m²)

144.000.000

JUMLAH

638.000.000

3

Furniture, alat Laboratorium

45.000.000

4

Utiliti

AC, gedung pengolahan dan penyimpanan permen

12.000.000

Genset ( 30 KVA), pompa air ( 50 L/ menit)

105.000.000

Tangki minyak bakar ( 3000 L)

20.000.000

Tungku air panas ( 2000 L), Kompresor ( 2 atm)

30.000.000

JUMLAH

167.000.000

5

Biaya pelatihan dan konsultasi

78.000.000

6

Biaya Lain-lain

155.000.000

TOTAL DANA INVESTASI

2.002.275.000

Sumber, Pusat Penelitian Kakao Jember 2010.

Kebutuhan dana untuk investasi awal pendirian pabrik pengolahan kakao sebesar Rp 2.002.275.000,- Industri ini setiap bulannya dapat mengolah biji kakao sebanyak 10.000 kg. Untuk menjamin kontinuitas pengolahan agar industri dapat berproduksi secara terus menerus setiap tahun, sementara panen tidak dapat dilakukan sepanjang tahun atau setiap bulan, maka kebutuhan industri untuk setahun harus distok atau dibeli di musim panen raya.

c. Perkiraan Bahan Baku

Kebutuhan bahan baku industri pengolahan dapat dipenuhi dari hasil fermentasi kakao yang dilakukan secara berkelompok, atau dari hasil fermentasi koperasi usaha yang rinciannya dapat dilihat pada Tabel 6 di halaman berikut .

Tabel 6.

KEBUTUHAN BAHAN BAKU KAKAO FERMENTASI INDUSTRI PENGOLAHAN BIJI KAKAO

Sebelum Ermentasi

Sesudah Ermentasi Susut (50%)

KETERANGAN

1 kali

Per

Per

1 kali

Per

Per

Panen

Bulan

Tahun

Panen

Bulan

Tahun

(kg)

(kg)

kg

(kg)

(kg)

kg

Kakao basah per petani saat Panen Raya

149

297

1.186

74

149

593

Kakao basah per petani diluar Panen Raya

11

22

86

5

11

43

Total kakao basah per petani saat Panen

159

319

1,273

80

159

636

Kebutuhan 20.000 kg basah / bulan (panen raya) dipenuhi dari 67 orang

10.000

20.000

80.000

5.000

10.000

40.000

Sumber: Hasil Penelitian 2010

Untuk menjamin kontinuitas industri pengolahan agar dapat berproduksi secara terus menerus setiap tahun, sementara panen tidak berlangsung sepanjang tahun, dengan asumsi bahwa panen raya hanya berlangsung selama 4 bulan maka, bahan baku harus di stok atau dibeli di musim panen raya untuk kebutuhan produksi. Setiap bulan industri membutuhkan 10.000 kg biji kakao fermentasi, setahun dibutuhkan 120.000 kg ( 120 ton ).

Bahan baku akan di supplai oleh kelompok fermentasi. Hasil proyeksi produksi usaha kelompok petani fermentasi, setiap kelompok akan menghasilkan 10.000 kg perbulan, selama musim panen akan menghasilkan 40.000 kg.

Kebutuhan sebesar 120.000 kg dapat dipenuhi dari 3 kelompok untuk pembelian @ 30.000 kg per bulan selama musim panen Selama musim panen. Besarnya dana yang dibutuhkan untuk melakukan stok bahan baku Rp 24.000 x 120.000 kg = Rp 2.880.000.000,- per tahun atau Rp 24.000 x 30.000 kg = Rp 720.000.000,- per bulan selama musim panen raya.

d. Perkiraan Kebutuhan Modal Kerja Industri Olahan Kakao

Selain modal untuk kebutuhan investasi aktiva tetap dan peralatan, industri ini juga memerlukan modal kerja untuk membiayai kegiatan operasional antara lain untuk pembelian bahan baku, bahan penolong, biaya tenaga kerja atau untuk biaya operasional veriabel dan biaya operasional tetap. Besarnya perkiraan modal kerja industri pengolahan dapat dillihat pada tabel 7 berikut :

Tabel 7

KEBUTUHAN MODAL KERJA INDUSTRI OLAHAN KAKAO

KETERANGAN

Jumlah

Harga Satuan

Per Bulan

Unit kg

Rp

Rp

Per Tahun

Bahan Baku Biji Kakao

10.000

24.000

240.000.000

2.880.000,000

Bahan Penolong/ Tambahan :

Gula

15.450

13.000

200.850.000

2.410.200.000

Susu

2.155

48.000

103.440.000

1.241.280.000

Lemak

430

0

0

0

Lesitin

4,68

50.000

234.000

2.808.000

Paili

1,56

300.000

468.000

5.616.000

Soda

6,24

7.000

43.680

524.160

Krimer

2.250

27.500

61.875.000

742.500.000

Total Biaya Bahan Penolong

20.297

445.500

366.910.680

4.402.928.160

Biaya Tetap :

Gaji dan tunjangan (41 orang)

40.250.000

483.000.000

Penyusutan (masa manfaat 25 thn)

5.874.250

70.491.000

Bunga Bank (12%/tahun )

5.155.800

61.869.600

Total Biaya Tetap

51.280.050

5.761.312.920

Biaya Variabel :

Listrik ( Pabrik, Kantor)

42.385.500

508.626.000

Bahan Bakar Minyak

8.307.000

99.684.000

Biaya Pemasaran

36.486.718

437.840.616

Total Biaya variable

87.179.218

6.939.824.136

JUMLAH MODAL KERJA

745.369.948

19.984.065,216

Sumber: hasil penelitian 2010.

Hasil perhitungan yang tersaji pada Tabel 7 memperlihatkan bahwa, kebutuhan modal kerja untuk mengolah 1000 kg kakao fermentasi adalah sebesar Rp 745.369.948,- setiap bulan atau Rp19.984.065.216,- dalam setahun. Proporsi dana sebagian besar digunakan untuk pembelian bahan baku dan bahan penolong sebesar Rp 606.910.680 setiap bulan.

e. Perkiraan Laba – Rugi dan Arus Kas Industri Pengolahan Kakao

Tujuan pendirian Industri Pengolahan kakao adalah untuk meningkatkan nilai tambah dari produk kakao, meningkatkan pendapatan petani kakao, membuka lapangan kerja baru yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan daerah, karena kakao tidak lagi di ekspor dalam bentuk produk asalan tapi dalam bentuk fermentasi, lemak, bubuk atau bahan makanan. Pendapatan dan Keuntungan industri pengolahan dapat dilihat pada tabel 8 berikut:

Tabel 8

PENDAPATAN PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTRI OLAHAN KAKAO

KETERANGAN

Produk/

Produk

Harga /

Harga/kg

Jumlah

Jumlah

Unit

Unit

Pak, biji

Pendapatan

Pendapatan

Pak, Biji

Kg

Rp

Rp

Rp / Bulan

Rp / Thn

Lemak

2.080

61.000

126.880.000

1.522.560.000

Bubuk

24.570

23.000

565.110.000

6.781.320.000

Permen :

Bar besar ( @ 70 g)

5.278

369

10.000

142.857

52.780.000

633.360.000

Bar Kecil (@ 26 g )

14.248

399

4.000

142.857

56.992.000

683.904.000

Praline Besar @ 8 g)

46.332

371

500

62.500

23.166.000

277.992.000

Praline Kecil ( @ 6 g)

61.802

371

250

41.667

15.450.500

185.406.000

Total

28.160

813.377.005

10.084.542.000

Sumber: hasil Peneltian 2010.

Pedapatan dari penjualan hasil produksi olahan kakao sebulan sebesar Rp 813.377.005,- atau setahun sebesar Rp 10.084.542.000,-. Perhitungan secara lengkap laba-rugi industri pengolahan tersebut sebagaimana tersaji pada Tabel 9. di halaman berikut.

Tabel 9

PERKIRAAN LABA-RUGI INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO

KETERANGAN

Per Bulan

Per Tahun

Rp

Rp

PENERIMAAN :

Penjualan Produk

813.377.005

10.084.542.000

PENGELUARAN :

Biaya Produksi

Bahan Baku Biji Kakao

240.000.000

2.880.000.000

Bahan penolong/ tambahan

366.910.680

4.402.928.160

Jumlah Biaya Produksi

606.910.680

7.282.928.160

LABA KOTOR USAHA

206.466.325

2.801.613.840

Biaya operasi

Biaya Pemas/adm, umum Variabel

54.341.000

652.092.000

Biaya adm Umum Tetap

40.250.000

483.000.000

Biaya Penyusutan

5.874.250

70.491.000

Jumlah Biaya Operasi

100.465.250

1.205.583.000

LABA USAHA (EBIT)

106.001.075

1.596.030.840

Bunga

5.155.800

61.869.600

LABA SEBELUM PAJAK

100.845.275

1.534.161.240

Pajak 10%

10.084.528

153.416.124

LABA BERSIH (EAT)

90.760.748

1.380.745.116

Sumber: Hasil penelitian 2010.

Laba bersih yang dapat diraih sebesar Rp 90.760.748 sebulan atau Rp 1.380.745.116 setiap tahun. Net profit margin sebesar 137,% artinya kemampuan penjualan untuk menghasilkan laba bersih diatas 100%. Sedangkan perhitungan arus kas (cash flows) dari pendirian industri pengolahan kakao di Sulawesi Tenggara sebagaimana tersaji pada Tabel 10 pada halaman berikut.

Tabel 10

ARUS KAS INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO

TAHUN

ARUA KAS

DF

PV OF CASH FLOW

DF

PV OF CASH FLOW

RP

12%

RP

18%

RP

0

-2.037.275.000

1,000

-2.037.275.000

1,000

-2.037.275.000

I

1.513.105.716

0,893

1.351.052.094

0,848

1.282.357.094

II

1.513.105.716

0,797

1.206.247.877

0,718

1.086.712.525

III

1.513.105.716

0,712

1.077.028.649

0,609

920.876.139

IV

1.513.105.716

0,636

961.578.683

0,516

780.459.928

V

1.513.105.716

0,567

858.536.183

0,437

661.378.508

NPV

3.417.168.485

NPV

2.694.509.195

KETERANGAN

PER BULAN

TAHUN

Rp

I

II

III

IV

IV

Laba Setelah Pajak

99.760.748

1.488.745.116

1.488.745.116

1.488.745.116

1.488.745.116

1.488.745.116

Penyusutan

5.874.250

70.491.000

70.491.000

70.491.000

70.491.000

70.491.000

Biaya Bunga

5.155.800

61.869.600

61.869.600

61.869.600

61.869.600

61.869.600

Arus Kas Operasi

110.790.798

1.621.105.716

1.621.105.716

1.621.105.716

1.621.105.716

1.621.105.716

Sumber: Hasil Penelitian 2010

KETERANGAN

Pada DF12%

Pada DF18%

NPV

3.417.168.485

2.694.509.195

B/C

1.21

IRR

51%

PP

1 Tahun 25 hari

ROI/ Tahun

0.73

Hasil perhitungan kelayakan investasi industri pengolahan kakao selama lima tahun, adalah layak, karena dengan tingkat suku bunga 18% investasi ini dapat menghasilkan Net Present Value (NPV) yang positif sebesar Rp.2.694.509.195.,- hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pembentukan industri pengolahan kakao akan menguntungkan jika dilakukan karena akan memberikan keuntungan, B/C ratio sebesar 1.21. Payback Period ( PP) dari investasi adalah satu tahun 25 hari artinya dana investasi sebesar Rp 2.037.275.000,- dapat kembali dalam tempo 1 tahun 25 hari , karena Payback period proyek investasi fermentasi berkelompok ini pendek maka dapat dikatakan bahwa risiko proyek kecil. Return on invesment atau kemampuan dana investasi untuk menghasilkan laba bersih adalah 73%, artinya jika poyek ini dilaksanakan akan memberikan keuntungan dari investasi sebesar 73% jumlah yang besar mendekati 100%.

f. Analisa Break Even Industri Pengolahan Kakao Sultra

Untuk mengetahui berapa jumlah minimal volume (kg) produk yang harus dihasilkan agar industri pengolahan tersebut dapat menutup semua biaya produksi diakukan perhitungan BEP dalam volume. Hasil perhitungan BEP industri pengolahan kakao di Sulawesi Tenggara secara rinci tersaji pada Tabel 11 dihalaman berikut.

Tabel 11. BREAK EVEN DALAM VOLUME (KG)

KETERANGAN

Produk/ Unit

Produk/ Unit

Biaya Tetap

Biaya variabel

Variabel/ unit

BEP

Pak, Biji

Kg

Rp

Rp

Rp

Kg

Lemak

2.080

51.280.000

47.095.904

22.642

1.337

Bubuk

24.570

51.280.000

501.682.679

20.419

19.864

Permen :

51.280.000

Bar besar (@ 70 g)

5.278

369

51.280.000

8.365.410

22.642

427

Bar Kecil (@ 26 g )

14.248

399

51.280.000

9.032.994

22.642

427

Praline Besar( @ 8 g)

46.332

371

51.280.000

8.392.490

22.642

1.287

Praline Kecil ( @ 6 g)

61.802

371

51.280.000

8.396.022

22.642

2.695

Sumber: Hasil penelitian 2010.

Hasil perhitungan BEP menunjukkan bahwa, indudtri pengolahan kakao dengan kapasitas produksi 10.000 kg/bulan akan mendapat keuntungan dari setiap penjualan produknya jika menjual lemak lebih dari 1.337 kg, bubuk di atas 19.864 kg, permen bar besar di atas 427 kg atau 6.100 pak, permen bar kecil di atas 427 kg atau 16.424 pak, praline besar di atas 1.287 kg atau 160.875 pak dan praline kecil di atas 2.695 kg.

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan terhadap komoditas kakao Sulawesi Tenggara, dapat disimpulkan:

1. Komoditas kakao sebagai salah satu komoditi andalan Sulawesi Tenggara memiliki potensi produksi yang besar tetapi terkendala oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Kemampuan SDM berkaitan dengan budidaya (on farm) dan penanganan pasca panen (off farm) masih sangat terbatas. Sehingga menyebabkan produktivitas kakao rendah.

b. Tidak dilakukan fermentasi terhadap biji kakao sehingga kualitas biji kakao menjadi rendah. Hal tersebut menyebabkan harga kakao terutama ditingkat petani rendah sehingga berakibat terhadap rendahnya pendaptan petani.

c. Adanya serangan hama, dan tanaman kakao petani pada umumnya sudah berusia tua sehingga produktivitasnya rendah (mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya).

d. Kelompok tani yang ada kurang optimal dalam menjalankan fungsi mediasi.

e. Lemahnya posisi petani dalam kegiatan tataniaga kakao. Petani hanya sebagai penerima harga, tanpa memiliki kekuatan untuk ikut menentukan harga.

2. Dari perhitungan yang dilakukan dengan cara membandingkan pengolahan kakao tanpa fermentasi dan fermentasi menunjukkan bahwa dengan melakukan fermentasi meskipun terjadi peningkatan biaya tetapi kakao fermentasi memberikan peningkatan pendapatan yang signifikan (berarti).

3. Pendirian industri kakao di Sulawesi Tenggara sangat potensiil. Dari analisis yang telah dilakukan menunjukkan dengan kapasitas pabrik 10.000 kg/bulan dan membutuhkan dana investasi sekitar Rp 2 milyar, akan berpotensi memberikan keuntungan (laba) bersih setiap bulan mencapai Rp. 99 juta dengan masa waktu pengembalian 1 (satu) tahun 25 (dua puluh lima) hari.

4. Pengembangan industri hilir produk kakao, layak untuk dilaksanakan karena akan memberikan keuntungan bagi pengusaha industri produk hilir kakao dan akan memberikan keuntugan bagi petani yang melakukan fermentasi dalam arti penguatan intermediated industry dalam produk kakao dapat terjadi dan ini akan memberikan efek yang positif terhadap provinsi Sulawesi Tenggara baik dari sisi pencitaan iklim usaha maupun dari sisi pendapatan daerah, dan penyerapan tenaga kerja, karena dengan berkembangnya industri – industri intermediated ini akan mendorong berkembangnya industri-industri penunjang lainnya.

  1. REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap potensi komiditi kakao di Sulawesi Tenggara, maka direkomnedasikan hal-hal sebagai berikut:

1. untuk meningkatkan posisi tawar petani, segera dilakukan penguatan kelembagaan yang sudah ada ditingkat petani.

2. untuk menghasilkan produk kakao yang terfermentasi segera bentuk lembaga-lembaga penguatan ekonomi untuk memberikan bantuan permodalan terhadap petani, mengingat untuk melakukan fermentasi membutuhkan modal yang besar, sementara itu petani tidak mempunyai modal.

3. Bila petani telah melakukan fermentasi, perlu adanya kepastian harga ditingkat petani sehingga petani benar-benar merasakan bahwa dengan melakukan fermentasi maka akan dapat meningkatkan pendapatannya.

4. Dalam perspektif kedepan, apabila dibangun industri pengolahan produk kakao hendaknya harus ada kerjasama dan harmonisasi hubungan yang baik antara perusahaan, pemerintah dengan masyarakat setempat sehingga terjadi hubungan yang saling menguntungkan.

5. Pemerintah dan swasta (investor) harus dapat memberikan jaminan dan kepastian kepada masyarakat bahwa kegiatan industri tersebut tidak hanya memberi keuntungan ekonomi bagi pemerintah dan investor tetapi dapat memberikan keuntungan sosial ekonomi bagi masyarakat petani kakao dan masyarakat Sulawesi Tenggara pada umumnya.

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus